RISENSI BUKU:
Judul : ACEH dari Sultan Iskandar Muda ke HELSINKI
Penerbit : Bandar Publishing BANDA ACEH. (Juni 2010 Cetakan III)
Tebal : 228 halaman.
ISBN : 978-176845-2
Membaca sebuah buku, seperti memasuki sebuah tambang emas. Di lokasi
tambang
yang kaya kandungan biji emasnya, tak perlu membuat terowongan perut bumi
sampai kedalaman tertentu. Sebab baru di lapisan kulit bumi paling atas,
sudah
mulai ditemukan biji biji logam mulia yang sangat menggoda
itu. Ketika saya
mulai membaca halaman awal buku berjudul " ACEH dari Sultan Iskandar Muda
ke
HELSINKI", gambaran serupa saya alami . Antara judul buku dengan nama
pengarangnya saja, sudah muncul godaan dalam benak saya ingin menelusuri,
apa
gerangan yang ada dalam kandungan buku setebal 228 halaman ini, yg
diterbitkan
oleh "Bandar publishing" BANDA ACEH. Juni 2010 sebagai cetakan III. Sebab
Harry Kawilarang, pengarang buku itu secara pribadi saya kenal adalah putra
kelahiran Tondano Minahasa. Ia Wartawan senior yang sudah malang
melintang
dalam dunia persilatan jurnalistik sampai ke
mancanegara. Mengherankan bukan
saja karena jarak tanah Minahasa dan tanah Aceh cukup jauh, melainkan
karena
penulisnya orang dari daerah yang dianggap "Serambi Yerusalem" sedangkan
yang
ditulis adalah sejarah tentang "Serambi Mekah". Masalahnya menurut pikiran
saya,
apakah Harry "si petualang" ini mampu beradabtasi dengan suasana kebathinan
orang Aceh, sehingga bisa menulis secara objektif, jujur dan tuntas
sejarah
Aceh dan manusianya? Namun pertanyaan itu, mulai terjawab ketika saya mulai
mengunyah sekapur sirih yang dihidangkan Harry sebagai pengantar buku
ini. Di
situ Harry mengisahkan suatu ketika pada bulan Mei 1982 ia sempat mengobrol
santai dengan Bung Amran Zamzami . Orang itu yang sudah pasti putra Aceh,
sempat
berucap: "Kalau orang Aceh selalu mulai melakukan gerakan perubahan, orang
Manado selalu berpesta dan menikmati hasil dari perubahan itu".
Seperti saya juga, pasti Harry merasa tertantang dengan ucapan ini, yang
membuktikan adanya tirai pemisah antara pandangan orang Aceh dengan orang
Minahasa. Hal ini bisa dipahami karena pandangan hidup yang
dilatarbelakangi
sejarah maupun kondisi social budaya yang berbeda antar subetnis Aceh dan
Minahasa, jaraknya memang cukup lebar. Salah persespsi antarsuku
seperti
ini memang sudah lama berlarut bagaikan kanker yang menggerogoti rukun
kenusantaraan kita, namun terkesan sengaja dirajut dalam sejarah nasional
Indonesia yang sarat kepentingan politik NKRI. Selama ini sejarah yang
disuguhkan senantiasa bernuansa nasionalisme yang mengandung strategi
gnosida
terhadap idiologi, identitas dan akar budaya serta sejarah subetnis
tertentu,
yang dikuatirkan dan dicurigai berpotensi separatisme dan disintegratif
.
Dan diantara subetnis yang menjadi korban kecurigaan ini, adalah Aceh dan
Minahasa, karena keduanya memiliki latar belakang sejarah yang dianggap tak
sealiran dengan arus kuat kekuasaan yang dominan dalam NKRI. Itulah mengapa
Negara yang berlambangkan semboyan Bhineka tunggal Ika ini, justeru
cenderung
memendam keanekaragaman fakta sejarah kenusantaraan.
Dalam kata pengantar buku ini, Irwandi Yusuf menyebutnya sebagai Sejarah
di
bawah karpet yang sudah waktunya dicari dan dibentangkan secara terbuka,
jujur
dan objektif. Ia sempat berkisah tentang pengalamannya
menelusuri keberadaan
koin Kerajaan Aceh di sebuah Meseum terkenal di Inggris. Di ruang pamer
meseum
ini, didapati adanya koin koin Kerajaan Makasar, Kerajaan Banten dan
Kerajaan
Maluku, namun tidak didapati adanya koin Kerajaan Aceh . Padahal Kerajaan
Aceh
sebagai negeri adidaya di Asia Tenggara di sekitar abad 15 kesohor sampai
ke
Benua Eropa dan Afrika baik pengaruh kekuatan militernya maupun
ekonominya.
Syukurlah dari curator meseum tsb diketahui, koin Aceh bukannya tidak ada
di
meseum tsb, melainkan sengaja tidak dipamerkan atas komitmen Pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah Inggris. Inilah salah satu bukti ketidak
jujuran
pengungkapan fakta sejarah di Indonesia. Mengapa demikian? Diduga ada
kekuatiran, bangsa Aceh bisa bangkit kembali heroisme dan primordialismenya
sebagai sebuah Kerajaan yang pernah mengalami puncak kejayaan dan mereguk
nikmat kemakmuran di masa lalu. Sebagai gambaran saja, pada tahun 1586
Kerajaan
Aceh dengan kekuatan 500 kapal perang dengan 60.000pasukan marinirnya pernah
menyerang Portugis yang menjajah kawasan Malaka. Kerajaan Aceh pernah
memiliki
istana Raja yang luasnya 2 km persegi, sekaligus dapat menampung 300 ekor
gajah
yang biasa dipakai sebagai kendaraan perang di zaman itu. Belum lagi potensi
ekonominya melalui Sumber Daya Alamnya yang sangat kaya, sehingga beberapa
raja
darii Eropa membuka hubungan persahabatan dan perdagangan serta sering
bertukar
hadiah dengan Raja Aceh. Hingga sekarang ini, Aceh mampu menghasilkan
minyak
bumi 1,5 juta barel setiap hari, dan memiliki cadangan gas terbesar, 38 pct
dari cadangan gas dunia. Mungkin dikuatirkan pula membaranya kembali arang
dendam sejarah antara Aceh dan Jawa sebab Kerajaan Aceh yang
dulunya bernama
Kerajaan Samudera Pasai, dipertengahan abad 14 pernah diserbu dan
dikalahkan
oleh pasukan Kerajaan Majapahit dari Jawa. Dalam perang itu Sultan Ahmad
dari
Pasai meninggalkan istana untuk menyelamatkan diri, sehingga banyak anggota
pasukannya diboyong sebagai tawanan ke pulau Jawa. Para tawanan inilah yang
dicatat oleh para pakar sejarah sebagai penyemai benih agama Islam di Jawa
Timur. Ini baru sebagian kecil fakta sejarah dalam buku ini yang berhasil
memaparkan secara jujur cerahkelamnya sejarah Aceh , yang mampu membuat
kita
tercengang mengenal lebih otentik wajah dan batin orang Aceh , sekaligus
kedahsyatan Tanah Rencong ini.
Harry dalam obrolan santai ketika itu, tentu merasa tak santun kalau secara
spontan terlibat debat dgn Amran Zamzami utk melancarkan apologinya
terhadap
Minahasa. Ia sadar ini hanyalah sebuah miss komunikasi dan kesalahan
persepsi
yang selama ini tak terjembatani sebagai bias dari ketidakjujuran
penulisan
textbook sejarah yang hanya didominasi peradaban Kerajaan Besar Sriwajaya
dan
Majapahit . Faktor ini pulalah yang memicu semangat orang Aceh sehingga
mereka
menjadi suku yang seakan tak pernah tenang di sepanjang sejarah masa
penjajahan
bangsa asing, hingga dialam kemerdekaan yg bernama NKRI sekarang ini.
Nenurut hemat saya, inilah awal berseminya tekad Harry Kawilarang ingin
membuka
tirai persepsi keliru antar sub etnis yang beragam di Nusantara dengan
mulai
menyingkapkan tabir tabir sejarah yang terpendam. Ia sengaja mulai dari ufuk
barat Nusantara dengan langkah awal mengindonesiakan ACEH. Sebenarnya
tekad
ini mulai diwujudkannya sejak 2005 setahun sebelum tragedy Tsunami melanda
NAD
Aceh. Harry yang lebih banyak menghabiskan usianya di luar Minahasa
tetapi
kental dengan logat Manado, ternyata selama beberapa tahun dengan kemampuan
lobinya, sempat berintegrasi bebas dengan orang Aceh mulai dari rakyat
biasa
sampai pemangku adat, pemuka agama dan pejabat pemerintah. Dari sini ia
berhasil melacak dan memahami seluk beluk SDM dan SDA tanah rencong ini,
sehingga ia memiliki dokumen dan fakta sejarah yang cukup lengkap kuat dan
otentik , sehingga layak diterbitkan sebagai buku bacaan sejarah. Dan ini
tentunya sangat memperkaya khasanah kepustakaan bukan saja bagi orang
Aceh,
tetapi bagi setiap orang terutama warga Indonesia, yang ingin melihat jati
diri bangsanya secara utuh, guna dijadikan pegangan menapak masa depan.
Inilah kesan awal yg dapat saya petik setelah menelusuri halaman halaman
awal
buku Harry Kawilarang, yang disunting oleh Wartawan Senior Aceh, Murizal
Hamzah
dan diberi pengantar oleh Irwan Yusuf. Sudah tentu begitu banyak biji biji
emas
yang semakin kaya dapat saya tambang dari kedalaman halaman buku ini, namun
tak
mungkin semua dipaparkan disini, untuk tidak melangkahi wilayah komersial
penerbit yang tentunya membutuhkan banyak pembaca sebagai pembeli buku. Dan
memang lebih nikmat apabila buku yang langka ini dimiliki dan dibaca
sendiri.
Satu hal yang saya sayangkan sekaligus herankan, buku ini tidak dilengkapi
gambar yang lebih dapat memperkuat keabsahan cerita, padahal Harry adalah
juga
seorang fotografer kawakan. Misalnya gambar Meriam Lada Sicupak
hadiah Sultan
Ottoman dari Istambul, dan gambar Meriam Raja James hadian Raja Inggris, yg
menurut buku ini, masih terawat rapi hingga kini di Aceh . Pendek kata, saya
sendiri yang seumur hidup membayangkan Aceh sebagai sebuah wilayah
tertutup,
kelam dan kejam terutama terhadap orang asing yg tak sekeyakinan, mungkin
akibat
julukan Tanah Rencong, setelah membaca buku ini sempat menarik nafas lega
dan
spontan muncul keinginan suatu waktu dapat bertandang ke Serambi Mekah ini
***
(Phill.M.Sulu) .
.
--
BANDAR PUBLISHING
Research and Publication
==================
Jl. Lingkar Kampus. Lr Lhok Bangka. Ds. Rukoh. Darussalam. Banda Aceh – NAD.
Mobile Phone +62 85261658159